Kerja Sama BPMA dan SKK Migas, Aceh Masuki Babak Baru Hulu Migas Nasional
![]() |
| Anjungan minyak lepas pantai - Foto: id.pngtree.com |
Banda Aceh | Acehcorner.com - Laut biru di ujung barat Sumatra kini tak hanya menyimpan keindahan, tetapi juga peluang besar bagi kemandirian energi Aceh. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), akhirnya memberi ruang bagi Aceh untuk ikut terlibat dalam pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) hingga sejauh 200 mil laut dari garis pantai.
Kebijakan itu tertuang dalam surat resmi Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, bernomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, yang ditujukan kepada Gubernur Aceh. Dalam surat tersebut, Bahlil menegaskan bahwa keikutsertaan Aceh akan dilakukan melalui mekanisme kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Bagi Aceh, keputusan ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan hasil perjuangan panjang memperjuangkan hak daerah atas pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Alhamdulillah, ini buah dari usaha bersama seluruh unsur Pemerintah Aceh, DPRA, BPMA, serta dukungan masyarakat Aceh yang terus mendorong agar kewenangan migas di luar 12 mil hingga 200 mil dapat menjadi tanggung jawab bersama Aceh dan pusat,” ujar M. Nasir, Sekretaris Daerah Aceh, Rabu (29/10/2025), di Banda Aceh.
Langkah ini menjadi babak baru hubungan energi antara Aceh dan pemerintah pusat. Melalui kerja sama dengan SKK Migas, Aceh melalui BPMA akan berperan dalam tiga bidang strategis dalam koordinasi dan pelaporan kegiatan hulu migas secara berkala, keterlibatan dalam kegiatan kehumasan dan fasilitasi perizinan, serta penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD).
Menurut Nasir, keterlibatan Aceh dalam mekanisme hulu migas nasional adalah bentuk kepercayaan baru dari pemerintah pusat yang harus diimbangi dengan komitmen profesionalisme dan transparansi. “Kami akan segera berkoordinasi dengan Bapak Menteri ESDM dan SKK Migas. Ini langkah maju yang diharapkan memperkuat posisi Aceh sekaligus meningkatkan kontribusi sektor migas bagi pembangunan nasional,” katanya.
Aceh sendiri memiliki dasar hukum yang kuat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh, provinsi ini memiliki posisi khusus dibandingkan daerah lain. Namun, batas kewenangan di wilayah laut lebih dari 12 mil selama ini kerap menjadi perdebatan antara pusat dan daerah.
Surat Menteri ESDM tersebut dianggap sebagai penegasan baru atas komitmen pemerintah pusat terhadap kekhususan Aceh. “Ini bukti nyata penghormatan terhadap kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ke depan, kami berharap sinergi ini dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat Aceh melalui optimalisasi potensi migas,” tambah Nasir.
Kebijakan ini menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat Aceh. Selama ini, sebagian besar aktivitas eksplorasi migas di perairan barat Sumatra dikelola penuh oleh pusat. Dengan mekanisme kerja sama yang lebih inklusif, hasil bumi dari dasar laut Aceh diharapkan dapat memberi dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Kebijakan itu tertuang dalam surat resmi Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, bernomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, yang ditujukan kepada Gubernur Aceh. Dalam surat tersebut, Bahlil menegaskan bahwa keikutsertaan Aceh akan dilakukan melalui mekanisme kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Bagi Aceh, keputusan ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan hasil perjuangan panjang memperjuangkan hak daerah atas pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Alhamdulillah, ini buah dari usaha bersama seluruh unsur Pemerintah Aceh, DPRA, BPMA, serta dukungan masyarakat Aceh yang terus mendorong agar kewenangan migas di luar 12 mil hingga 200 mil dapat menjadi tanggung jawab bersama Aceh dan pusat,” ujar M. Nasir, Sekretaris Daerah Aceh, Rabu (29/10/2025), di Banda Aceh.
Langkah ini menjadi babak baru hubungan energi antara Aceh dan pemerintah pusat. Melalui kerja sama dengan SKK Migas, Aceh melalui BPMA akan berperan dalam tiga bidang strategis dalam koordinasi dan pelaporan kegiatan hulu migas secara berkala, keterlibatan dalam kegiatan kehumasan dan fasilitasi perizinan, serta penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD).
Menurut Nasir, keterlibatan Aceh dalam mekanisme hulu migas nasional adalah bentuk kepercayaan baru dari pemerintah pusat yang harus diimbangi dengan komitmen profesionalisme dan transparansi. “Kami akan segera berkoordinasi dengan Bapak Menteri ESDM dan SKK Migas. Ini langkah maju yang diharapkan memperkuat posisi Aceh sekaligus meningkatkan kontribusi sektor migas bagi pembangunan nasional,” katanya.
Aceh sendiri memiliki dasar hukum yang kuat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh, provinsi ini memiliki posisi khusus dibandingkan daerah lain. Namun, batas kewenangan di wilayah laut lebih dari 12 mil selama ini kerap menjadi perdebatan antara pusat dan daerah.
Surat Menteri ESDM tersebut dianggap sebagai penegasan baru atas komitmen pemerintah pusat terhadap kekhususan Aceh. “Ini bukti nyata penghormatan terhadap kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ke depan, kami berharap sinergi ini dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat Aceh melalui optimalisasi potensi migas,” tambah Nasir.
Kebijakan ini menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat Aceh. Selama ini, sebagian besar aktivitas eksplorasi migas di perairan barat Sumatra dikelola penuh oleh pusat. Dengan mekanisme kerja sama yang lebih inklusif, hasil bumi dari dasar laut Aceh diharapkan dapat memberi dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Potensi sumber daya di laut barat Aceh disebut masih sangat besar. Beberapa blok eksplorasi yang pernah diteliti memiliki cadangan migas menjanjikan, namun belum dioptimalkan sepenuhnya. Dengan keterlibatan BPMA secara langsung, Aceh kini memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa hasil alam dari lautnya dapat dikelola dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Langkah ini juga menjadi momentum refleksi: bagaimana Aceh mampu memanfaatkan kewenangan baru ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah daerah diharapkan memperkuat kapasitas teknis, memperluas investasi, serta memastikan bahwa aktivitas migas berjalan sesuai prinsip lingkungan dan keberlanjutan.
Bagi pemerintah pusat, keputusan ini mencerminkan komitmen politik memperkuat otonomi daerah dalam kerangka NKRI tanpa mengurangi standar nasional pengelolaan energi.
Aceh kini berada di persimpangan sejarah penting antara kesempatan dan tanggung jawab. Dari balik ombak Samudra Hindia, Aceh menatap masa depan energinya sendiri.[]
Langkah ini juga menjadi momentum refleksi: bagaimana Aceh mampu memanfaatkan kewenangan baru ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah daerah diharapkan memperkuat kapasitas teknis, memperluas investasi, serta memastikan bahwa aktivitas migas berjalan sesuai prinsip lingkungan dan keberlanjutan.
Bagi pemerintah pusat, keputusan ini mencerminkan komitmen politik memperkuat otonomi daerah dalam kerangka NKRI tanpa mengurangi standar nasional pengelolaan energi.
Aceh kini berada di persimpangan sejarah penting antara kesempatan dan tanggung jawab. Dari balik ombak Samudra Hindia, Aceh menatap masa depan energinya sendiri.[]



0 Komentar