AJI Lhokseumawe Gelar Nonton Bareng dan Diskusi Film A Thousand Cuts
Lhokseumawe | Acehcorner.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe menggelar nonton bareng dan diskusi film berjudul A Thousand Cuts, di Aula Meurah Silu Universitas Malikussaleh Lhokseumawe pada sabtu (6/11/2021). Acara tersebut diikuti oleh kalangan jurnalis, mahasiswa dan organisasi lintas profesi.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam memperingati hari internasional
akhiri impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis yang diperingati pada 2
November. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang digelar oleh AJI di 10
Kota seluruh Indonesia. Acara nonton film yang mengusung tema Impunitas Era
Digitalisasi menghadirkan Syahrul dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
dan Ayi Jufridar sebagai Ahli Pers.
Baca juga: Lawan Pelemahan KPK, AJI Lhokseumawe Gelar Nobar KPK 'The End Game’
Film A Thousand Cuts (2020) yang berarti Seribu Luka
merupakan film dokumenter yang menceritakan perjuangan seorang jurnalis asal
Filipina bernama Maria Ressa menghadapi tuntutan hukum akibat keberanian
medianya menyoroti kebijakan pemerintah Filipina, terutama kebijakan
kontroversi sang Presiden Duterte yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia
dengan dalih pemberantasan Narkoba.
Film dengan durasi 110 menit tersebut disutradarai oleh Ramona
S. Diaz dan diputar pada Festival Film Sundance pada Januari 2020 lalu. Maria
Ressa merupakan pendiri media online Rappler.com yang kemudian terpilih menjadi
penerima anugerah nobel perdamaian (2021) atas usahanya memperjuangkan
kebebasan berekspresi dan demokrasi di Filipina. Pada tahun 2005 wanita
berdarah Filipina-Amerika itu pernah bekerja dan ikut mendirikan kantor CNN
biro Jakarta.
Usai nonton film bersama, acara dilanjutkan dengan diskusi
tentang kebebasan pers di Indonesia. Syahrul yang merupakan koordinator LBH
Banda Aceh memaparkan bahwa kejahatan terhadap insan pers yang terjadi di
Filipina pernah terjadi di Indonesia.
“Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi pintu masuk yang dapat digunakan untuk
kriminalisasi terhadap wartawan maupun jurnalisme warga” ujarnya.
Syahrul juga mengungkap kalau wartawan sudah dibungkam
apalagi ditangkap maka tidak ada lagi yang berani menyuarakan kebenaran.
Sementara kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh informasi yang benar dan
terverifikasi. Pers punya peran mencerdaskan publik agar tidak termakan
informasi hoaks.
Syahrul juga menyampaikan bahwa secara internal organisasi
wartawan juga perlu berbenah meningkatkan kompetensi agar menghasilkan berita
yang memenuhi kaidah jurnalistik.
“Jika berita memenuhi kaidah jurnalistik, maka UU Nomor 40
Tahun 1999 yang dijadikan rujukan jika ada permasalahan yang menimpa
rekan-rekan wartawan”, jelasnya.
Sementara itu ahli pers Ayi Jufridar menyoroti Indeks
Kebebasan Pers (IKP) Aceh yang semakin mengkhawatirkan, tahun 2021 Aceh menempati
peringkat ke-23. Terjun bebas dari peringkat pertama pada tahun 2018. Ia
mengungkap beberapa kasus intimidasi yang mengancam kerja jurnalis.
“Perlu diketahui bahwa teror kekerasan terhadap jurnalis
tidak hanya bersifat fisik seperti pemukulan dan pembakaran rumah maupun mobil
tapi juga berbentuk verbal seperti perundungan dan ancaman”, ungkapnya.
Salah seorang peserta diskusi, Muhadi Bukhari menyampaikan
harapannya terhadap insan pers dan pemilik media. Ia mengungkapkan media yang dikuasai
oleh politisi berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.
Media harus menjadi rujukan masyarakat terhadap kebenaran
informasi. Ia mengulas semangat Maria Ressa saat ditahan dan dikriminalisasi
dengan berbagai cara namun ia tetap mempertahankan idealisme jurnalis.
“Jurnalis harus mampu menghadirkan keadilan bagi masyarakat
marjinal yang sulit mendapat akses untuk menyuarakan pendapat, kita belajar
dari pengalaman dan semoga tidak terulang lagi”, harapnya. (Amrizal Abe)
0 Komentar