Lahan yang ‘Bertuan Ganda’: Polemik Jusuf Kalla dan PT GMTD Tbk
![]() |
| Ilustrasi perseteruan mengenai batas dan kepemilikan tanah, Foto: Ilustrasi AI |
Acehcorner.com - Di Makassar, sebuah potongan tanah seluas 16,4 hektare tengah menjadi pusat pusaran sengketa yang menyeret nama besar Jusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 itu mendadak berhadapan dengan putusan Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan PT GMTD Tbk sebagai pihak yang sah menguasai lahan tersebut.
Padahal, di atas kertas negara, hak atas tanah itu tercatat jelas atas nama Jusuf Kalla. Ada empat Sertifikat Hak Guna Bangunan, lengkap dengan akta pengalihan hak yang diterbitkan BPN Makassar pada 1996 hingga 2008. Pertanyaan pun bergulir: bagaimana satu bidang lahan bisa memiliki dua wajah hukum sekaligus?
Kebingungan tidak berhenti di Makassar. Dari Jakarta, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid turut angkat suara. Ia menegaskan bahwa data resmi kementeriannya menunjukkan lahan yang diperebutkan itu memang terdaftar atas nama Jusuf Kalla. Di sinilah isu sertifikat ganda kembali mencuat, sebuah persoalan klasik yang terus menghantui tata kelola pertanahan Indonesia.
Kementerian ATR/BPN mengakui bahwa akar persoalan bisa berangkat dari sejarah panjang sistem pertanahan Indonesia. Sebelum era digitalisasi, banyak sertifikat khususnya yang masuk kategori KW 4, 5, dan 6 diterbitkan tanpa peta kadastral yang memadai. Dokumen-dokumen lama ini masih tersebar dan belum sepenuhnya masuk dalam basis data digital, sehingga rawan tumpang tindih.
Namun tumpang tindih sertifikat tak semata soal teknis. Putusan pengadilan yang berbeda di tiap tingkatan dari peradilan pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali sering menciptakan dualisme baru. Satu lahan bisa dimenangkan oleh satu pihak di satu putusan, namun dibatalkan di tingkat lain. Untuk meredam kekacauan ini, ATR/BPN dan Mahkamah Agung telah meneken nota kesepahaman agar koordinasi putusan pertanahan lebih sinkron.
Di tengah polemik besar ini, publik bertanya: apa yang harus dilakukan ketika sertifikat ganda menimpa masyarakat biasa?
Pemerintah menyarankan langkah pertama adalah melapor ke Kantor Pertanahan setempat. Petugas akan meneliti fakta, memverifikasi data, dan mencoba menyelesaikan secara administratif. Jika tidak cukup, jalur pengadilan menjadi pilihan berikutnya. Pengadilan akan menilai bukti mana yang paling kuat dan menetapkan sertifikat yang sah. Putusan itu kemudian menjadi dasar BPN memperbarui data dan memastikan kepemilikan yang legitimate tercatat dalam sistem nasional.
Dalam kasus sengketa Jusuf Kalla dan PT GMTD ini, publik bukan hanya melihat konflik antara dua pihak. Mereka melihat cermin besar persoalan pertanahan Indonesia, antara sejarah dan modernisasi, antara aturan dan kenyataan, antara dokumen negara dan putusan hukum. Sengketa ini mungkin hanya satu bab dari kisah panjang pertarungan kepastian hukum agraria di tanah air.[]


0 Komentar