Kejari Aceh Utara Nilai Pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai Dilakukan Asal Jadi
Lhoksukon | Acehcorner.com - Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Utara melakukan sidang pemeriksaan tempat dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh Terkait Penyelewengan Pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai tahun anggaran 2012- 2017.
Sidang tempat langsung dilakukan di Monumen Islam bertempat
Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera,
Aceh Utara, Selasa (29/8). Dalam sidang tempat itu langsung dihadiri oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh diketuai R. Hendral, terdakwa dan
kuasa hukum terdakwa serta tim ahli.
Kepala Kejari Aceh Utara, Dr. Dian Ayu H.L.Iswara Akbari,
selaku penuntut umum (JPU) mengatakan sidang tempat ini bertujuan untuk melihat
langsung kondisi eksisting proyek pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai.
"Sidang tempat ini untuk menemukan alat bukti, apakah
bukti keterangan saksi, saksi ahli, bukti surat (misalnya hasil pengukuran)
atau bukti keyakinan hakim yang telah memeriksa langsung di lapangan,"
kata Akbari kepada awak media.
Akbari mengatakan ada tiga master plant yang dilakukan para
terdakwa terlihat volume pembangunan ada 80 meter kali 80 meter. Tapi nyatanya
didalam persidangan perencanaan ini tidak ada tendernya dan saksi dari ULP juga
mengatakan tidak ada ditender.
Lanjutnya, tiba-tiba ada reviews desain master plant terkait
perubahan volume pembangunan menjadi 40 meter kali 40 meter. Bahkan ada desain
gambar arsitektur yang tidak dikerjakan seperti kubah tipe dua.
"Sebenarnya ada 12 kubah, tetapi yang ada hanya 8
kubah. Jadi kami menduga tidak bisa dikerjakan dikarenakan mengurangi volume.
Sehingga tidak ada dikerjakan kubah tipe dua itu dan seharusnya ada tangga dan
kubah besar,"katanya
Akbari menyebutkan dikarenakan dikecilkan jumlah volume yang
seharusnya ada delapan ruang Museum. Namun setelah dilihat ruang tersebut tidak
ada.
"Jadi mereka hanya mengerjakan ruangan induk 40 meteran
kali 40 meter. Ternyata itulah yang ditender dan perencanaannya tidak dilakukan
tender oleh unit-unit pengadaan,"ujarnya.
Kemudian, review desain itu menggunakan APBD. Sedangkan
proyek ini dari Kementerian dan jadi semua harus bersumber dana APBN dan tidak
boleh ada dana dari APBD.
Kemudian, di 2013 ada tender perencanaan. Jadi itu kembali
pada master plant awal. Dimana ada 8 ruang Museum yang harus dibangun namun yang
dibangun hanya satu ruangan.
Akbari menyebutkan padahal di setiap tahunnya ada tender
perencanaan, jadi dari 2014-2017 tidak ada tender perencanaan. "Jadi
pembangunan itu acuannya kemana dan kami menduga proyek ini asal kerja,"ujarnya.
Akbari menjelaskan dalam RAB sebenarnya proyek ini mereka
sudah menetapkan pembangunan ini senilai Rp 36,9 miliar sampai fungsional.
"Jadi itu lah yang dibuat oleh CV Sarina Konsultan. Ternyata pembayaran
hingga tahun terakhir mencapai lebih Rp 51 miliar . Jadi ada kelebihan
pembayaran sehingga mengakibatkan kerugian negara sekitar 13,8
miliar,"katanya.
Sedang untuk pembelian tiang pancang dalam kontrak yang
sudah dibayarkan 2012 itu mencapai Rp 5,3 miliar. Tetapi, dalam sidang
persidangan saksi dari PT Wika Beton
hanya membayar 1,7 miliar.
"Jadi disitu kita juga menduga ada markup pembelian
tiang pancang dengan selisih 3,3 miliar. Tapi mereka berdalih itu ongkos
angkut. Jadi ongkos angkut lebih mahal dari pembelian tiang pancang," kata
Akabri.
Selain itu pembangunan itu pihaknya menilai tidak sesuai
dengan standar. Dikarenakan terdapat kebocoran dan dinding retak dan bahkan
sudah berlumut.
"Kami melihat dari persidangan hingga saat ini ada
dugaan perlawanan hukum atau menyalahgunakan wewenang dalam kasus
ini,"pungkasnya. (DA)
0 Komentar